Syekh Abdul Qodir Al Jailani: Tiga Tingkatan Puasa
TIGA TINGKATAN PUASA MENURUT SYEKH ABDUL QODIR AL JAILANI : PUASA SYARIAT, PUASA TAREKAT, PUASA HAKIKAT.
۞اَللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ۞
PUASA SYARIAT (PUASANYA ORANG AWAM), PUASA TAREKAT (PUASANYA ORANG YANG SEDANG BERJUANG MENUJU ALLOH) DAN PUASA HAKIKAT (PUASANYA PARA ARIF BILLAH, WALI ALLOH, ORANG SHOLEH).
Menurut Syekh Abdul Qadir Al-Jailani, “PUASA SYARIAT adalah menahan diri dari makan, minum, dan bersetubuh di siang hari. Sedangkan PUASA TAREKAT adalah menahan seluruh anggota tubuh secara lahir maupun batin, siang maupun malam dari segala perbuatan yang diharamkan, yang dilarang dan sifat-sifat tercela, seperti ‘ujub, sombong, bakhil dan sebagainya.
Semua itu dapat membatalkan puasa syariat. Puasa SYARIAT terbatas waktu, sedang Puasa TAREKAT selama hidup.
رُبَّ صَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ صَوْمِهِ إِلَّا الْجُوْعُ وَالْعَطْشُ (رواه ابن ماجه)
Baginda Rasululloh SAW bersabda, “Betapa banyak orang yang berpuasa TIDAK mendapatkan apa-apa dari puasanya selain hanya LAPAR dan DAHAGA.” (HR. Ibnu Majah).
Oleh kerana itu ada pula ungkapan, “Banyak yang berpuasa, tetapi berbuka. Banyak yang berbuka, tetapi berpuasa.” Artinya : orang yang perutnya tidak berpuasa, tetapi ia menjaga anggota tubuhnya dari perbuatan terlarang dan menyakiti orang lain.
كَمَا قَالَ اللهُ تَعَالَى فِيْ الْحَدِيْثِ الْقُدْسِيِّ إِنَّ الصَّوْمَ لِيْ وَأَنَا أَجْزِيْ بِهِ (رواه مسلم)
وَقَالَ اللهُ تَعَالَى فِيْ الْحَدِيْثِ الْقُدْسِيِّ يَصِيْرُ لِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ فَرْحَةٌ عِنْدَ الْإِفْطَارِ وَفَرْحَةٌ عِنْدَ رُؤْيَةِ جَمَالِيْ
Sebagaimana firman ALLOH SWT dalam Hadis Qudsi, “Puasa itu untuk KU dan AKU lah yang akan membalasnya.” (HR. Muslim).
ALLOH SWT juga berfirman dalam Hadis Qudsi, “Bagi orang yang berpuasa akan mendapat dua kebahagiaan. Pertama, yaitu ketika berbuka. Kedua, ketika melihat ALLOH.”
Menurut ahli syariat ialah yang dimaksud dengan berbuka adalah makan pada saat matahari tenggelam. Sedangkan, ru’yah yang mereka maksud adalah melihat hilal (anak bulan) untuk menentukan jatuhnya hari raya Idul Fitri.
Adapun pengertian menurut ahli tarekat, berbuka (al-ifthâr) ialah kebahagiaan saat masuk syurga, saat menikmati semua kenikmatan syurga. Semoga ALLOH SWT memberikannya kepada kita.
Kedua, yang dimaksud dengan ru’yah (menurut ahli tarekat) ialah melihat ALLOH SWT secara nyata pada Hari Kiamat dengan pandangan sirri. Semoga dengan kemuliaan dan keutaman ALLOH SWT, Dia menganugerahkan kepada kita semua untuk bisa melihat-Nya.
Adapun PUASA HAKIKAT ialah menjaga hati dari mencintai selain ALLOH SWT dan menjaga RASA (sirr) agar tidak mencintai musyâhadah pada selain ALLOH SWT. Sebagaimana firman ALLOH SWT dalam Hadis Qudsi, “Manusia adalah rahasia-Ku dan Aku rahasianya.”
اَلْإِنْسَانُ سِرِّيْ وَأَنَا سِرُّهُ
Sirr itu berasal dari cahaya ALLOH, sehingga tidak mungkin condong kepada selain ALLOH SWT. Baginya, di dunia ini maupun di akhirat, tidak ada yang dicintai, diingini, dan dicari selain ALLOH.
Jika hati dan sirr terjatuh untuk mencintai selain ALLOH, maka batallah puasa hakikatnya dan ia harus melakukan qadha' dengan kembali mencintai ALLOH SWT dan menemui-Nya. Pahala dari puasa hakikat ini adalah bertemu dengan ALLOH SWT. Sesuai firman ALLOH SWT dalam Hadis Qudsi,“Puasa itu bagi-KU dan AKU lah yang akan membalasnya.” (HR. At-Tirmidzi).
اَلصَّوْمُ لِيْ وَأَنَا أَجْزِيْ بِهِ (رواه الترمذي)
Syekh Abdul Qadir Al-Jailani dalam Sirrul Asrar...
۞اَللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ۞
PUASA SYARIAT (PUASANYA ORANG AWAM), PUASA TAREKAT (PUASANYA ORANG YANG SEDANG BERJUANG MENUJU ALLOH) DAN PUASA HAKIKAT (PUASANYA PARA ARIF BILLAH, WALI ALLOH, ORANG SHOLEH).
Menurut Syekh Abdul Qadir Al-Jailani, “PUASA SYARIAT adalah menahan diri dari makan, minum, dan bersetubuh di siang hari. Sedangkan PUASA TAREKAT adalah menahan seluruh anggota tubuh secara lahir maupun batin, siang maupun malam dari segala perbuatan yang diharamkan, yang dilarang dan sifat-sifat tercela, seperti ‘ujub, sombong, bakhil dan sebagainya.
Semua itu dapat membatalkan puasa syariat. Puasa SYARIAT terbatas waktu, sedang Puasa TAREKAT selama hidup.
رُبَّ صَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ صَوْمِهِ إِلَّا الْجُوْعُ وَالْعَطْشُ (رواه ابن ماجه)
Baginda Rasululloh SAW bersabda, “Betapa banyak orang yang berpuasa TIDAK mendapatkan apa-apa dari puasanya selain hanya LAPAR dan DAHAGA.” (HR. Ibnu Majah).
Oleh kerana itu ada pula ungkapan, “Banyak yang berpuasa, tetapi berbuka. Banyak yang berbuka, tetapi berpuasa.” Artinya : orang yang perutnya tidak berpuasa, tetapi ia menjaga anggota tubuhnya dari perbuatan terlarang dan menyakiti orang lain.
كَمَا قَالَ اللهُ تَعَالَى فِيْ الْحَدِيْثِ الْقُدْسِيِّ إِنَّ الصَّوْمَ لِيْ وَأَنَا أَجْزِيْ بِهِ (رواه مسلم)
وَقَالَ اللهُ تَعَالَى فِيْ الْحَدِيْثِ الْقُدْسِيِّ يَصِيْرُ لِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ فَرْحَةٌ عِنْدَ الْإِفْطَارِ وَفَرْحَةٌ عِنْدَ رُؤْيَةِ جَمَالِيْ
Sebagaimana firman ALLOH SWT dalam Hadis Qudsi, “Puasa itu untuk KU dan AKU lah yang akan membalasnya.” (HR. Muslim).
ALLOH SWT juga berfirman dalam Hadis Qudsi, “Bagi orang yang berpuasa akan mendapat dua kebahagiaan. Pertama, yaitu ketika berbuka. Kedua, ketika melihat ALLOH.”
Menurut ahli syariat ialah yang dimaksud dengan berbuka adalah makan pada saat matahari tenggelam. Sedangkan, ru’yah yang mereka maksud adalah melihat hilal (anak bulan) untuk menentukan jatuhnya hari raya Idul Fitri.
Adapun pengertian menurut ahli tarekat, berbuka (al-ifthâr) ialah kebahagiaan saat masuk syurga, saat menikmati semua kenikmatan syurga. Semoga ALLOH SWT memberikannya kepada kita.
Kedua, yang dimaksud dengan ru’yah (menurut ahli tarekat) ialah melihat ALLOH SWT secara nyata pada Hari Kiamat dengan pandangan sirri. Semoga dengan kemuliaan dan keutaman ALLOH SWT, Dia menganugerahkan kepada kita semua untuk bisa melihat-Nya.
Adapun PUASA HAKIKAT ialah menjaga hati dari mencintai selain ALLOH SWT dan menjaga RASA (sirr) agar tidak mencintai musyâhadah pada selain ALLOH SWT. Sebagaimana firman ALLOH SWT dalam Hadis Qudsi, “Manusia adalah rahasia-Ku dan Aku rahasianya.”
اَلْإِنْسَانُ سِرِّيْ وَأَنَا سِرُّهُ
Sirr itu berasal dari cahaya ALLOH, sehingga tidak mungkin condong kepada selain ALLOH SWT. Baginya, di dunia ini maupun di akhirat, tidak ada yang dicintai, diingini, dan dicari selain ALLOH.
Jika hati dan sirr terjatuh untuk mencintai selain ALLOH, maka batallah puasa hakikatnya dan ia harus melakukan qadha' dengan kembali mencintai ALLOH SWT dan menemui-Nya. Pahala dari puasa hakikat ini adalah bertemu dengan ALLOH SWT. Sesuai firman ALLOH SWT dalam Hadis Qudsi,“Puasa itu bagi-KU dan AKU lah yang akan membalasnya.” (HR. At-Tirmidzi).
اَلصَّوْمُ لِيْ وَأَنَا أَجْزِيْ بِهِ (رواه الترمذي)
Syekh Abdul Qadir Al-Jailani dalam Sirrul Asrar...
Komentar
Posting Komentar