Mengetahui Posisi Diri dalam Pilpres
Kita begitu merasakan bahwa dalam konteks Pilpres 2019 saat ini telah terjadi saling klaim dan pengkotak2an. Satu Muslim di satu pihak mengklaim sebagai "yang benar". Sementara satu Muslim lainnya dipandang sebagai "yang salah." Ujung2nya saling caci cemooh dengan seenaknya memberi label "Munâfiq” atau bahkan "Kâfir”. Kondisi seperti ini sungguh sangat memprihatinkan kalau tak mau dibilang mengerikan.
Pandangan saling hujat itu boleh jadi sudah melebihi hak Allah sebagai Yang Maha Penentu.
Berbagai hujjah pun keluar, misalnya siapa saja yang mengucap dua kalimah Syahadatain, maka tidak boleh atau terlarang dikatakan sebagai "Munâfiq” atau "Kâfir” apalagi hanya karena mereka punya cara pandang berbeda dalam dalam pilihan politis terutama dalam masalah memilih pemimpin negara dan daerah.
Benarkah demikian…?
Mari kita coba telisik lebih dalam...
Pertama,
Justru di dalam beragama itu kita harus berpihak dan memilih pihak. Itulah yang namanya aqidah *al-Walâ’ wa al-Barô’*.
Siapa saja yang tidak paham al-Walâ’ wa al-Barô’, maka artinya belum tahu apa2 tentang Tauhîd Lâ ilâha ilallôh wahdahu lâ syarîkalah, Muhammadan ‘abduhu wa rosûluhu*.
Sehingga sangat perlu dipertanyakan pemahamannya terhadap Islâm.
Ibadah bukan cuma suatu ritual belaka, tetapi ia harus dibangun dgn dasar keyakinan di hati, "Imân, Tauhîd kpd Allah Subhânahu wa Ta'âla”*.
Dalam beragama justru harus memihak. Dalam arti tdk ada ceritanya bersikap netral atau Politically Correctness à la Barat.
Ketika Nabiyullôh Ibrôhîm dibakar oleh Namrud di atas gunungan kayu bakar raksasa, semua binatang berpihak kepada Nabî Ibrôhîm 'alaihisallam dgn berdo’a kpd Allah Subhânahu wa Ta‘âla.
Adapun semut diabadikan secara khusus di dalam hadîts, membawakan setetes air utk memadamkan api, sehingga dimuliakanlah semut selamanya. Semut tak mungkin bisa memadamkan api, namun setidaknya ia telah menentukan kemana harus berpihak.
Sementara tokek dan cicak, malah menjadi peng-hembus2 api agar semakin besar, sehingga dihinakanlah mereka selamanya.
Keberpihakan tsb adalah ajaran dasar sekali, dalam bahasa kekinian basic understanding of Tauhîd*.
Adapun Islâm dan syari‘at yg dibawa oleh Rosûlullôh, Nabî Muhammad shalallahu 'alaihi wasallam, adalah agama yg sempurna, perfect, komplit-lengkap, khaffah.
(bukan Agama prasmanan, yang bsa di pilih2 mana yg suka dan mana yg tdk suka)
Bukan hanya mengatur ibadah ritual semata…
Hidup ini mulai dari A s/d Z diatur oleh syari‘at Islâm.
@Dari mulai konsepsi sampai menguburkan mayyit saja ada dzikir dan tata-caranya.
@Dari mulai mencari jodoh sampai bagaimana berbakti kpd orangtua yg telah wafat saja ada aturan dzikir dan tata-caranya.
@Dari ujung rambut (hairdo, mengecat), sampai ujung kaki (cara pakai alas kaki) ada aturan dzikir dan tata-caranya.
@Dari mulai bangun, beraktifitas se-hari2, sampai pada mau kembali tidur lagi saja ada aturan dzikir dan tata-caranya.
Jadi, mungkinkah masalah sekrusial memilih pemimpin dan politik dibiarkan tanpa ada petunjukNya…??!
Maka dari itu, petunjuk Allah Subhânahu wa Ta‘âla dalam beragama Islâm adalah harus secara *kâffah* (menyeluruh) - tdk bisa à la prasmanan, ambil yg mana suka dan tinggalkan yg tdk disukai.
Maka sungguh sangat keliru jika ada yang mengatakan : "When it comes to judging others, itu adalah hak prerogatif Allah semata”.
Itu betul2 sangat keliru…!!!
Mari kita coba buka Al-Qur-ân dan al-Hadîts.
Lalu baca dgn perlahan artinya, kemudian baca tafsir ayat atau syarah hadîtsnya…
Kemudian resapi untuk selanjutnya sedapatnya diaplikasikan .
Maka akan kita temukan predikat golongan manusia, di antaranya :
1. Muhsin.
2. Mu’min.
3. Muslim.
4. *Munâfiq*
5. Kuffâr.
6. Musyrik.
Jadi siapa yg menggolongkan manusia?
Jelas Allah dan Rosûl-Nya.
Lalu untuk apa penggolongan itu?
Yaitu sebagai standar bagi orang2 berîmân agar tahu menempatkan dirinya ada di mana. Agar tahu posisi dirinya, siapa lawannya, dan agar tahu kemana dan kpd siapa ia harus berpihak.
Kedua,
Bahwa semua "Rukun Islâm” itu bisa batal.
Hajji bisa batal.
Puasa bisa batal.
Zakat bisa batal.
Sholât bisa batal.
Lalu kenapa Syahadat tdk bisa batal…???
Makanya ada konsep "Nawâqidhul Islâm” -Pembatal2 Keislâman.
Begitu jelas dalil2 tentang Nawâqidhul Islâm ini di dalam al-Qur-ân dan al-Hadîts.
Bukankah dahulu Kholîfah Abu Bakar ash-Shiddîq radhiyallahu 'anhu memerangi orang2 yg mengucap syahadat tetapi tdk mau membayarkan zakat? Bukankah dahulu Kholîfah Abu Bakar ash-Shiddîq radhiyallahu 'anhu memerangi orang2 yg mengucap syahadat tetapi mengakui Musailamah si pendusta sebagai Nabî?
Begitu juga sifat orang Munâfiq...
Maka jelas juga ayat dan hadîts tentang bagaimana ciri orang Munâfiq itu, serta tentunya tentang bagaimana memperlakukan mereka.
Maka kalau dikatakan *tdk boleh judging*,....lalu utk apa dalil2 tentang apa ciri orang Kâfir itu dan bagaimana memperlakukannya? Untuk apa dalil2 tentang ciri orang *Munâfiq* itu dan bagaimana memperlakukannya?
Apakah semua dalil2 dalam al-Qur-ân dan al-Hadîts itu hanya sekadar menjadi kata2 indah penghias saja…?
Masuk akal kah…?
Marilah berpikir dgn standar Islâm, jangan memakai standar ganda Sekularisme - Pluralisme - Liberalisme dgn nama *Politically Correctness* à la Barat itu.
Pedoman jalan kita sebagai Muslim adalah al-Qur-ân dan as-Sunnah, bukan jalannya orang2 sesat dan dimurkai dari kalangan Kâfir dan Munâfiq.
SANGSI ALLAH BAGI YANG NETRAL*
ABU HASAN~313*
Netral dan pasif ketika melihat kezaliman adalah kesalahan fatal._
Mengapa demikian?* Karena Allah mewajibkan bagi setiap muslim agar mengambil sikap yang jelas.
Berada pada posisi remang-remang terkadang menjadikan manusia terlihat tidak berpihak dan netral, lebih aman dan tidak beresiko!!
Namun demikian rasa aman mereka tidak akan lama, semu dan akan segera pudar.
Kita meyakini dengan pasti hanya perlindungan Allah yang abadi, berkesinambungan dan kekal. Tak seorang pun mampu meloloskan dirinya dari pandangan-Nya, hukuman-Nya dan azab-Nya!!
*قال الله تعالى : وعِزَّتِي وَجَلاَلِي لأَنْتَقِمَنَّ من الظالمِ في عاجلهِ وآجله، ولأنتقمنَّ ممّن رأى مظلوماً فقدرَ أن ينصرهُ، ولم يفعلْ.*
Allah berfirman dalam hadits qudsi:
Demi keagungan-Ku dan kemuliaan-Ku pasti aku akan balas dengan siksa siapapun pelaku kezaliman cepat atau lambat, dan Aku pasti balas dengan siksa siapapun melihat seorang yang dizalimi dan dia mampu untuk membela, namun ia tidak membela.*_
Ancaman Allah ini jelas sekali berlaku pada pelaku kezaliman dan siapapun yang membiarkan kezaliman. Para pejabat, ulama dan politisi muslim, seharusnya tidak diam melihat KRIMINALISASI ulama.
Maka bersuaralah sebagai bukti bahwa kita tidak berpihak pada kezaliman*_
Namun jika kalian diam dan pasif maka tunggulah azab Allah yang pedih akan segera menghampiri kalian. Di Akhirat kelak Allah tidak menyediakan tempat bagi manusia netral. Di sana hanya ada surga dan neraka, bersama Rasulullah SAW atau para penentang ajaran Nya.*
〰〰〰〰〰〰
Lalu kini sudah tahukah, di mana posisi kita saat ini? Semoga posisi kita berada di pihak yang tepat, terukur dan berakal sehat yang membawa keberkahan dan ridho Allah Shubhanahu wa Ta'ala...
(sumber wag editing nas)
〰〰〰〰〰〰
Pandangan saling hujat itu boleh jadi sudah melebihi hak Allah sebagai Yang Maha Penentu.
Berbagai hujjah pun keluar, misalnya siapa saja yang mengucap dua kalimah Syahadatain, maka tidak boleh atau terlarang dikatakan sebagai "Munâfiq” atau "Kâfir” apalagi hanya karena mereka punya cara pandang berbeda dalam dalam pilihan politis terutama dalam masalah memilih pemimpin negara dan daerah.
Benarkah demikian…?
Mari kita coba telisik lebih dalam...
Pertama,
Justru di dalam beragama itu kita harus berpihak dan memilih pihak. Itulah yang namanya aqidah *al-Walâ’ wa al-Barô’*.
Siapa saja yang tidak paham al-Walâ’ wa al-Barô’, maka artinya belum tahu apa2 tentang Tauhîd Lâ ilâha ilallôh wahdahu lâ syarîkalah, Muhammadan ‘abduhu wa rosûluhu*.
Sehingga sangat perlu dipertanyakan pemahamannya terhadap Islâm.
Ibadah bukan cuma suatu ritual belaka, tetapi ia harus dibangun dgn dasar keyakinan di hati, "Imân, Tauhîd kpd Allah Subhânahu wa Ta'âla”*.
Dalam beragama justru harus memihak. Dalam arti tdk ada ceritanya bersikap netral atau Politically Correctness à la Barat.
Ketika Nabiyullôh Ibrôhîm dibakar oleh Namrud di atas gunungan kayu bakar raksasa, semua binatang berpihak kepada Nabî Ibrôhîm 'alaihisallam dgn berdo’a kpd Allah Subhânahu wa Ta‘âla.
Adapun semut diabadikan secara khusus di dalam hadîts, membawakan setetes air utk memadamkan api, sehingga dimuliakanlah semut selamanya. Semut tak mungkin bisa memadamkan api, namun setidaknya ia telah menentukan kemana harus berpihak.
Sementara tokek dan cicak, malah menjadi peng-hembus2 api agar semakin besar, sehingga dihinakanlah mereka selamanya.
Keberpihakan tsb adalah ajaran dasar sekali, dalam bahasa kekinian basic understanding of Tauhîd*.
Adapun Islâm dan syari‘at yg dibawa oleh Rosûlullôh, Nabî Muhammad shalallahu 'alaihi wasallam, adalah agama yg sempurna, perfect, komplit-lengkap, khaffah.
(bukan Agama prasmanan, yang bsa di pilih2 mana yg suka dan mana yg tdk suka)
Bukan hanya mengatur ibadah ritual semata…
Hidup ini mulai dari A s/d Z diatur oleh syari‘at Islâm.
@Dari mulai konsepsi sampai menguburkan mayyit saja ada dzikir dan tata-caranya.
@Dari mulai mencari jodoh sampai bagaimana berbakti kpd orangtua yg telah wafat saja ada aturan dzikir dan tata-caranya.
@Dari ujung rambut (hairdo, mengecat), sampai ujung kaki (cara pakai alas kaki) ada aturan dzikir dan tata-caranya.
@Dari mulai bangun, beraktifitas se-hari2, sampai pada mau kembali tidur lagi saja ada aturan dzikir dan tata-caranya.
Jadi, mungkinkah masalah sekrusial memilih pemimpin dan politik dibiarkan tanpa ada petunjukNya…??!
Maka dari itu, petunjuk Allah Subhânahu wa Ta‘âla dalam beragama Islâm adalah harus secara *kâffah* (menyeluruh) - tdk bisa à la prasmanan, ambil yg mana suka dan tinggalkan yg tdk disukai.
Maka sungguh sangat keliru jika ada yang mengatakan : "When it comes to judging others, itu adalah hak prerogatif Allah semata”.
Itu betul2 sangat keliru…!!!
Mari kita coba buka Al-Qur-ân dan al-Hadîts.
Lalu baca dgn perlahan artinya, kemudian baca tafsir ayat atau syarah hadîtsnya…
Kemudian resapi untuk selanjutnya sedapatnya diaplikasikan .
Maka akan kita temukan predikat golongan manusia, di antaranya :
1. Muhsin.
2. Mu’min.
3. Muslim.
4. *Munâfiq*
5. Kuffâr.
6. Musyrik.
Jadi siapa yg menggolongkan manusia?
Jelas Allah dan Rosûl-Nya.
Lalu untuk apa penggolongan itu?
Yaitu sebagai standar bagi orang2 berîmân agar tahu menempatkan dirinya ada di mana. Agar tahu posisi dirinya, siapa lawannya, dan agar tahu kemana dan kpd siapa ia harus berpihak.
Kedua,
Bahwa semua "Rukun Islâm” itu bisa batal.
Hajji bisa batal.
Puasa bisa batal.
Zakat bisa batal.
Sholât bisa batal.
Lalu kenapa Syahadat tdk bisa batal…???
Makanya ada konsep "Nawâqidhul Islâm” -Pembatal2 Keislâman.
Begitu jelas dalil2 tentang Nawâqidhul Islâm ini di dalam al-Qur-ân dan al-Hadîts.
Bukankah dahulu Kholîfah Abu Bakar ash-Shiddîq radhiyallahu 'anhu memerangi orang2 yg mengucap syahadat tetapi tdk mau membayarkan zakat? Bukankah dahulu Kholîfah Abu Bakar ash-Shiddîq radhiyallahu 'anhu memerangi orang2 yg mengucap syahadat tetapi mengakui Musailamah si pendusta sebagai Nabî?
Begitu juga sifat orang Munâfiq...
Maka jelas juga ayat dan hadîts tentang bagaimana ciri orang Munâfiq itu, serta tentunya tentang bagaimana memperlakukan mereka.
Maka kalau dikatakan *tdk boleh judging*,....lalu utk apa dalil2 tentang apa ciri orang Kâfir itu dan bagaimana memperlakukannya? Untuk apa dalil2 tentang ciri orang *Munâfiq* itu dan bagaimana memperlakukannya?
Apakah semua dalil2 dalam al-Qur-ân dan al-Hadîts itu hanya sekadar menjadi kata2 indah penghias saja…?
Masuk akal kah…?
Marilah berpikir dgn standar Islâm, jangan memakai standar ganda Sekularisme - Pluralisme - Liberalisme dgn nama *Politically Correctness* à la Barat itu.
Pedoman jalan kita sebagai Muslim adalah al-Qur-ân dan as-Sunnah, bukan jalannya orang2 sesat dan dimurkai dari kalangan Kâfir dan Munâfiq.
SANGSI ALLAH BAGI YANG NETRAL*
ABU HASAN~313*
Netral dan pasif ketika melihat kezaliman adalah kesalahan fatal._
Mengapa demikian?* Karena Allah mewajibkan bagi setiap muslim agar mengambil sikap yang jelas.
Berada pada posisi remang-remang terkadang menjadikan manusia terlihat tidak berpihak dan netral, lebih aman dan tidak beresiko!!
Namun demikian rasa aman mereka tidak akan lama, semu dan akan segera pudar.
Kita meyakini dengan pasti hanya perlindungan Allah yang abadi, berkesinambungan dan kekal. Tak seorang pun mampu meloloskan dirinya dari pandangan-Nya, hukuman-Nya dan azab-Nya!!
*قال الله تعالى : وعِزَّتِي وَجَلاَلِي لأَنْتَقِمَنَّ من الظالمِ في عاجلهِ وآجله، ولأنتقمنَّ ممّن رأى مظلوماً فقدرَ أن ينصرهُ، ولم يفعلْ.*
Allah berfirman dalam hadits qudsi:
Demi keagungan-Ku dan kemuliaan-Ku pasti aku akan balas dengan siksa siapapun pelaku kezaliman cepat atau lambat, dan Aku pasti balas dengan siksa siapapun melihat seorang yang dizalimi dan dia mampu untuk membela, namun ia tidak membela.*_
Ancaman Allah ini jelas sekali berlaku pada pelaku kezaliman dan siapapun yang membiarkan kezaliman. Para pejabat, ulama dan politisi muslim, seharusnya tidak diam melihat KRIMINALISASI ulama.
Maka bersuaralah sebagai bukti bahwa kita tidak berpihak pada kezaliman*_
Namun jika kalian diam dan pasif maka tunggulah azab Allah yang pedih akan segera menghampiri kalian. Di Akhirat kelak Allah tidak menyediakan tempat bagi manusia netral. Di sana hanya ada surga dan neraka, bersama Rasulullah SAW atau para penentang ajaran Nya.*
〰〰〰〰〰〰
Lalu kini sudah tahukah, di mana posisi kita saat ini? Semoga posisi kita berada di pihak yang tepat, terukur dan berakal sehat yang membawa keberkahan dan ridho Allah Shubhanahu wa Ta'ala...
(sumber wag editing nas)
〰〰〰〰〰〰
Komentar
Posting Komentar