Corona dan Menghentikan Penggunaan Masjid
Masalah yang dihadapi DKM, sepintas memang remeh. Padahal, tidak begitu. Sebab, di dalamnya termuat beberapa hal yang sangat prinsip :
Pertama, adanya kegaiban bernama hakikat virus dan proses penyebarannya.
Seraya berburuk sangka kepada ulama penuntun umat. Apa pandangan manusia jika sudah terbukti bahwa masjid menjadi penyebab pandemic Covid 19 karena ada sekelompok orang yang ‘ngeyel’ untuk membuka masjid pada saat virus Covid 19 sedang mengganas?
Sejarah mencatatnya sebagai kebodohan.
Keempat, hilangnya adab sebuah masyarakat yang warganya berkarakter Islam.
Salah satunya kesiapan untuk menjadi makmum yang baik, sekaligus menjadi imam yang baik.
Salah satu adab yang saat ini hilang adalah sirnanya konsep ‘sami’atan wa tho’atan’ atas keputusan seorang pemimpin.
Apalagi jika keputusan itu diambil melalui proses musyawarah (QS 3: 159).
Seluruh anggota majelis permusyawaratan yang sudah bersepakat wajib hukumnya untuk mematuhi hasil keputusan.
Jika tidak, masuk kategori membangkang, dan tindakan membangkang namanya ‘bughot’ (QS 49: 9).
(Sumber : disampaikan via WAG Almuhajirin oleh ustadz Usin S Artyasa yg biasa menyampaikan kajian Hadits di masjid Al Muhajirin setiap Kamis subuh)
Pertama, adanya kegaiban bernama hakikat virus dan proses penyebarannya.
Dalam ilmu akidah, ghaib itu dibagi dua: mutlak dan muqoyyad.
Ghaib mutlak berkaitan dengan hakikat Allah, hari kiamat (QS 67: 12). Ghaib muqoyyad (relatif) berkaitan dengan kegaiban yang bersyarat (QS 72: 26-27).
Ghaib mutlak berkaitan dengan hakikat Allah, hari kiamat (QS 67: 12). Ghaib muqoyyad (relatif) berkaitan dengan kegaiban yang bersyarat (QS 72: 26-27).
Ungkapan “bersyarat” yang dimaksud adalah persyaratan ilmu yang tentu dengan izin Allah. Itupun hanya “bagian tertentu” atau pengetahuan yang tidak bersifat mutlak karena, sekali lagi, kemutlakan hanya di sisi Allah.
Untuk kalangan awam, hakikat dan proses penyebaran virus Covid 19 sangat sulit dideteksi.
Faktanya, virus ini menular dengan cepat dan membunuh manusia.
Sayangnya, kebijakan “social/physical distancing” (pembatasan jarak sosial/fisik) tidak diindahkan karena munculnya kelompok ‘neojabbariyah’ atau ‘neoqodariah’.
Teologi ‘jabariyah’ (asal: ja-ba-ro) artinya keterpaksaan, yaitu paham teologi yang meyakini bahwa ‘alur hidup manusia merupakan ketentuan Tuhan yang berkuasa mutlak dalam menentukan garis hidup manusia.
Lawannya adalah teologi qadariyah (asal: qo-da-ro) arti kehendak, yaitu teologi yang meyakini bahwa apa yang terjadi pada diri manusia merupakan kehendak pribadi, dan tidak ada urusan dengan ketentuan Allah.
Contoh kalimat ‘neo-jabariyah’ adalah ungkapan ‘ngeyel’ figur publik bahwa “takdir mati itu ketentuan Allah, kalau Allah tidak menakdirkan mati, maka kita tetap hidup”. Lalu, ia tetap mengadakan kegiatan keagamaan yang mengundang banyak orang, padahal instruksi MUI jelas melarang mengadakan acara yang dapat membuat kerumunan massal dikarenakan berpotensi mempercepat penyebaran virus.
Apa yang kemudian terjadi?
Di sebuah masjid di Kebon Jeruk, lebih dari 170 orang dikarantina karena positif corona.
Beberapa fakta yang belakangan muncul: Global Times menyebut adanya “silent carrier”. Ilmuwan Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Ningbo Provinsi Zhejiang China Timur menemukan bahwa 6,3% terinfeksi tanpa gejala. Ahli virologi, Yang Zhanqiu Provinsi Hubei juga menyebut bahwa setidaknya 200 ribu “silent carrier” virus corona yang tanpa gejala.
Kedua, kutipan QS 9: 17-18 yang tepat dengan mengatakan bahwa ‘penutupan masjid untuk aktivitas berjamaah dan ibadah merupakan bagian dari tindakan zhalim’. Bahkan, layak disebut ‘musyrik’ orang yang enggan ke masjid.
Memang, ada ayat yang menggambarkan bahwa melarang penyebutan nama Allah di masjid merupakan tindakan zhalim. Simak ayat berikut.
وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنْ مَنَعَ مَسَاجِدَ اللَّهِ أَنْ يُذْكَرَ فِيهَا اسْمُهُ وَسَعَى فِي خَرَابِهَا أُولَئِكَ مَا كَانَ لَهُمْ أَنْ يَدْخُلُوهَا إِلَّا خَائِفِينَ لَهُمْ فِي الدُّنْيَا خِزْيٌ وَلَهُمْ فِي الْآَخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيمٌ، البقرة: 114
Adapun surat yang menggambarkan keengganan kaum musyrik untuk memasuki masjid karena mereka sudah tahu bahwa dirinya kafir. Di dalamnya juga digambarkan tentang syarat menjadi takmir masjid: beriman kepada Allah, tidak takut selain kepada-Nya, mendirikan sholat, menunaikan zakat.
مَا كَانَ لِلْمُشْرِكِينَ أَنْ يَعْمُرُوا مَسَاجِدَ اللَّهِ شَاهِدِينَ عَلَى أَنْفُسِهِمْ بِالْكُفْرِ أُولَئِكَ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ وَفِي النَّارِ هُمْ خَالِدُونَ، إِنَّمَا يَعْمُرُ مَسَاجِدَ اللَّهِ مَنْ آَمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ وَأَقَامَ الصَّلَاةَ وَآَتَى الزَّكَاةَ وَلَمْ يَخْشَ إِلَّا اللَّهَ فَعَسَى أُولَئِكَ أَنْ يَكُونُوا مِنَ الْمُهْتَدِينَ، التوبة: 18-17
Tak seorang pun dari Mukmin yang tak merindukan masjid sebagai tempat berlabuhnya hati untuk beribadah. Bahkan, Ibnu Katsir menjelaskan tentang keutamaan masjid dengan mengutip sebuah hadis. Imam Daruqutni (Kitab al Ifrad) meriwayatkan hadis melalui jalur Hikamah binti Usman ibnu Dinar, dari Malik ibnu Dinar, dari Anas ibn Malik ra.:
"إِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِقَوْمٍ عَاهَةً، نَظَرَ إِلَى أَهْلِ الْمَسَاجِدِ، فَصَرَفَ عَنْهُمْ"
Apabila Allah menghendaki azab atas suatu kaum, maka Dia memandang kepada ahli masjidnya (orang-orang yang memakmurkan masjid-masjid); maka Allah berpaling dari mereka (tidak jadi mengazab mereka).
Ibnu Katsir juga mengutip hadis qudsi dari Anas ibn Malik ra. bahwa Allah berfirman:
إِنِّي لَأَهِمُّ بِأَهْلِ الْأَرْضِ عَذَابًا، فَإِذَا نَظَرْتُ إِلَى عُمَّارِ بُيُوتِي وَإِلَى الْمُتَحَابِّينَ فِيَّ، وَإِلَى الْمُسْتَغْفِرِينَ بِالْأَسْحَارِ، صَرَفْتُ ذَلِكَ عَنْهُمْ"
Demi keagungan dan kebesaran-Ku, sesungguhnya Aku hendak menimpakan azab kepada penduduk bumi. tetapi apabila Aku memandang kepada orang-orang yang memakmurkan rumah-rumahKu dan memandang kepada orang-orang yang saling menyukai karena Aku, dan memandang kepada orang-orang yang memohon ampun di waktu sahur, maka Aku palingkan azab itu dari mereka.
Jadi, penggunaan dua surat di atas (QS 2: 114 dan 9: 17-18) sebagai dalil untuk menentang ‘penghentian atau penutupan sementara penggunaan masjid sebagai tempat berjamaah’ karena sama dengan perbuatan zhalim tidaklah tepat.
Jelasnya penggunaan dua surat keliru dan salah.
Dua surat itu harus diliihat secara komprehensif dari konsep ‘sibâq’ dan ‘siyâq’ agar tidak menghasilkan kesimpulan yang keliru.
Sebab, pengambilan kesimpulan hukum alias ‘istinbath’ mengacu pada konsep ‘maqôshid asy syarî’ah’ (tujuan penerapan syariat Islam).
Salah satu unsur dari ‘maqôshid asy syarî’ah’ adalah menjaga jiwa (hifdhu-n-nafsi).
Ketiga, setiap Muslim sudah bersepakat ulama yang memiliki otoritas keagamaan adalah pewaris nabi.
Setiap kesimpulan dan keputusan hukum yang diambil pasti mengacu rujukan Al Quran dan Hadis. Termasuk kaidah fiqh.
Mereka bertugas memastikan tujuan pokok dan fundamental syariat ‘maqôshid asy syarî’ah’ terlaksana dengan baik, yakni "mewujudkan maslahat dan meniadakan kerusakan" dalam kehidupan dengan cara menjaga jiwa manusia (hifdhu-n-nafsi).
Masjid itu tempat bersujudnya organ paling terhormat dalam susunan anatomi tubuh manusia.
Bahkan, sujud merupakan saat terdekat seorang hamba dengan Rabb-nya.
Sungguh, perbuatan yang tak seyogianya ada jika saat kemesraan spiritual ini ternoda dengan rasa tak aman dan tak lagi nyaman karena rasa was-was atas Covid-19 yang tak kasat mata itu.
Masjid harus dijaga muruah, kesucian, dan fungsinya sebagai episentrum kemaslahatan hidup.
Biarkan sajalah mal-mal, pusat-pusat perbelanjaan, pusat-pusat hiburan dan sejenisnya dicatat oleh sejarah sebagai tempat yang justru seringkali meruntuhkan martabat kemanusiaan kita.
Bahkan, tempat di mana manusia milenial saling menunjukkan eksistensi diri, kekayaan, dan kelas sosial.
Wajarlah, dalam pandangan kenabian, tempat tersebut menyandang predikat tempat yang paling dimurkai Allah Ta’ala (HR Muslim).
Seharusnya, cara berpikir umat Islam tidak perlu menuntut agar masjid disamaratakan dengan mal, pusat perbelanjaan, pusat hiburan tersebut—yang kemudian latah menebar status provokatif, semisal, "Mengapa masjid ditutup, tapi mal dibuka lebar?"
Untuk kalangan awam, hakikat dan proses penyebaran virus Covid 19 sangat sulit dideteksi.
Faktanya, virus ini menular dengan cepat dan membunuh manusia.
Sayangnya, kebijakan “social/physical distancing” (pembatasan jarak sosial/fisik) tidak diindahkan karena munculnya kelompok ‘neojabbariyah’ atau ‘neoqodariah’.
Teologi ‘jabariyah’ (asal: ja-ba-ro) artinya keterpaksaan, yaitu paham teologi yang meyakini bahwa ‘alur hidup manusia merupakan ketentuan Tuhan yang berkuasa mutlak dalam menentukan garis hidup manusia.
Lawannya adalah teologi qadariyah (asal: qo-da-ro) arti kehendak, yaitu teologi yang meyakini bahwa apa yang terjadi pada diri manusia merupakan kehendak pribadi, dan tidak ada urusan dengan ketentuan Allah.
Contoh kalimat ‘neo-jabariyah’ adalah ungkapan ‘ngeyel’ figur publik bahwa “takdir mati itu ketentuan Allah, kalau Allah tidak menakdirkan mati, maka kita tetap hidup”. Lalu, ia tetap mengadakan kegiatan keagamaan yang mengundang banyak orang, padahal instruksi MUI jelas melarang mengadakan acara yang dapat membuat kerumunan massal dikarenakan berpotensi mempercepat penyebaran virus.
Apa yang kemudian terjadi?
Di sebuah masjid di Kebon Jeruk, lebih dari 170 orang dikarantina karena positif corona.
Beberapa fakta yang belakangan muncul: Global Times menyebut adanya “silent carrier”. Ilmuwan Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Ningbo Provinsi Zhejiang China Timur menemukan bahwa 6,3% terinfeksi tanpa gejala. Ahli virologi, Yang Zhanqiu Provinsi Hubei juga menyebut bahwa setidaknya 200 ribu “silent carrier” virus corona yang tanpa gejala.
Kedua, kutipan QS 9: 17-18 yang tepat dengan mengatakan bahwa ‘penutupan masjid untuk aktivitas berjamaah dan ibadah merupakan bagian dari tindakan zhalim’. Bahkan, layak disebut ‘musyrik’ orang yang enggan ke masjid.
Memang, ada ayat yang menggambarkan bahwa melarang penyebutan nama Allah di masjid merupakan tindakan zhalim. Simak ayat berikut.
وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنْ مَنَعَ مَسَاجِدَ اللَّهِ أَنْ يُذْكَرَ فِيهَا اسْمُهُ وَسَعَى فِي خَرَابِهَا أُولَئِكَ مَا كَانَ لَهُمْ أَنْ يَدْخُلُوهَا إِلَّا خَائِفِينَ لَهُمْ فِي الدُّنْيَا خِزْيٌ وَلَهُمْ فِي الْآَخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيمٌ، البقرة: 114
Adapun surat yang menggambarkan keengganan kaum musyrik untuk memasuki masjid karena mereka sudah tahu bahwa dirinya kafir. Di dalamnya juga digambarkan tentang syarat menjadi takmir masjid: beriman kepada Allah, tidak takut selain kepada-Nya, mendirikan sholat, menunaikan zakat.
مَا كَانَ لِلْمُشْرِكِينَ أَنْ يَعْمُرُوا مَسَاجِدَ اللَّهِ شَاهِدِينَ عَلَى أَنْفُسِهِمْ بِالْكُفْرِ أُولَئِكَ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ وَفِي النَّارِ هُمْ خَالِدُونَ، إِنَّمَا يَعْمُرُ مَسَاجِدَ اللَّهِ مَنْ آَمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ وَأَقَامَ الصَّلَاةَ وَآَتَى الزَّكَاةَ وَلَمْ يَخْشَ إِلَّا اللَّهَ فَعَسَى أُولَئِكَ أَنْ يَكُونُوا مِنَ الْمُهْتَدِينَ، التوبة: 18-17
Tak seorang pun dari Mukmin yang tak merindukan masjid sebagai tempat berlabuhnya hati untuk beribadah. Bahkan, Ibnu Katsir menjelaskan tentang keutamaan masjid dengan mengutip sebuah hadis. Imam Daruqutni (Kitab al Ifrad) meriwayatkan hadis melalui jalur Hikamah binti Usman ibnu Dinar, dari Malik ibnu Dinar, dari Anas ibn Malik ra.:
"إِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِقَوْمٍ عَاهَةً، نَظَرَ إِلَى أَهْلِ الْمَسَاجِدِ، فَصَرَفَ عَنْهُمْ"
Apabila Allah menghendaki azab atas suatu kaum, maka Dia memandang kepada ahli masjidnya (orang-orang yang memakmurkan masjid-masjid); maka Allah berpaling dari mereka (tidak jadi mengazab mereka).
Ibnu Katsir juga mengutip hadis qudsi dari Anas ibn Malik ra. bahwa Allah berfirman:
إِنِّي لَأَهِمُّ بِأَهْلِ الْأَرْضِ عَذَابًا، فَإِذَا نَظَرْتُ إِلَى عُمَّارِ بُيُوتِي وَإِلَى الْمُتَحَابِّينَ فِيَّ، وَإِلَى الْمُسْتَغْفِرِينَ بِالْأَسْحَارِ، صَرَفْتُ ذَلِكَ عَنْهُمْ"
Demi keagungan dan kebesaran-Ku, sesungguhnya Aku hendak menimpakan azab kepada penduduk bumi. tetapi apabila Aku memandang kepada orang-orang yang memakmurkan rumah-rumahKu dan memandang kepada orang-orang yang saling menyukai karena Aku, dan memandang kepada orang-orang yang memohon ampun di waktu sahur, maka Aku palingkan azab itu dari mereka.
Jadi, penggunaan dua surat di atas (QS 2: 114 dan 9: 17-18) sebagai dalil untuk menentang ‘penghentian atau penutupan sementara penggunaan masjid sebagai tempat berjamaah’ karena sama dengan perbuatan zhalim tidaklah tepat.
Jelasnya penggunaan dua surat keliru dan salah.
Dua surat itu harus diliihat secara komprehensif dari konsep ‘sibâq’ dan ‘siyâq’ agar tidak menghasilkan kesimpulan yang keliru.
Sebab, pengambilan kesimpulan hukum alias ‘istinbath’ mengacu pada konsep ‘maqôshid asy syarî’ah’ (tujuan penerapan syariat Islam).
Salah satu unsur dari ‘maqôshid asy syarî’ah’ adalah menjaga jiwa (hifdhu-n-nafsi).
Ketiga, setiap Muslim sudah bersepakat ulama yang memiliki otoritas keagamaan adalah pewaris nabi.
Setiap kesimpulan dan keputusan hukum yang diambil pasti mengacu rujukan Al Quran dan Hadis. Termasuk kaidah fiqh.
Mereka bertugas memastikan tujuan pokok dan fundamental syariat ‘maqôshid asy syarî’ah’ terlaksana dengan baik, yakni "mewujudkan maslahat dan meniadakan kerusakan" dalam kehidupan dengan cara menjaga jiwa manusia (hifdhu-n-nafsi).
Masjid itu tempat bersujudnya organ paling terhormat dalam susunan anatomi tubuh manusia.
Bahkan, sujud merupakan saat terdekat seorang hamba dengan Rabb-nya.
Sungguh, perbuatan yang tak seyogianya ada jika saat kemesraan spiritual ini ternoda dengan rasa tak aman dan tak lagi nyaman karena rasa was-was atas Covid-19 yang tak kasat mata itu.
Masjid harus dijaga muruah, kesucian, dan fungsinya sebagai episentrum kemaslahatan hidup.
Biarkan sajalah mal-mal, pusat-pusat perbelanjaan, pusat-pusat hiburan dan sejenisnya dicatat oleh sejarah sebagai tempat yang justru seringkali meruntuhkan martabat kemanusiaan kita.
Bahkan, tempat di mana manusia milenial saling menunjukkan eksistensi diri, kekayaan, dan kelas sosial.
Wajarlah, dalam pandangan kenabian, tempat tersebut menyandang predikat tempat yang paling dimurkai Allah Ta’ala (HR Muslim).
Seharusnya, cara berpikir umat Islam tidak perlu menuntut agar masjid disamaratakan dengan mal, pusat perbelanjaan, pusat hiburan tersebut—yang kemudian latah menebar status provokatif, semisal, "Mengapa masjid ditutup, tapi mal dibuka lebar?"
Seraya berburuk sangka kepada ulama penuntun umat. Apa pandangan manusia jika sudah terbukti bahwa masjid menjadi penyebab pandemic Covid 19 karena ada sekelompok orang yang ‘ngeyel’ untuk membuka masjid pada saat virus Covid 19 sedang mengganas?
Sejarah mencatatnya sebagai kebodohan.
Keempat, hilangnya adab sebuah masyarakat yang warganya berkarakter Islam.
Salah satunya kesiapan untuk menjadi makmum yang baik, sekaligus menjadi imam yang baik.
Salah satu adab yang saat ini hilang adalah sirnanya konsep ‘sami’atan wa tho’atan’ atas keputusan seorang pemimpin.
Apalagi jika keputusan itu diambil melalui proses musyawarah (QS 3: 159).
Seluruh anggota majelis permusyawaratan yang sudah bersepakat wajib hukumnya untuk mematuhi hasil keputusan.
Jika tidak, masuk kategori membangkang, dan tindakan membangkang namanya ‘bughot’ (QS 49: 9).
(Sumber : disampaikan via WAG Almuhajirin oleh ustadz Usin S Artyasa yg biasa menyampaikan kajian Hadits di masjid Al Muhajirin setiap Kamis subuh)
Komentar
Posting Komentar