Mati Zholim atau Thoyyibin (II)

Oleh: Usin S. Artyasa
(Pengisi ta"lim di Masjid Almuhajirin Antapani Kidul setiap Kamis Subuh)

Pembahasan yang lalu menyebutkan bahwa Rasulullah Saw. bersabda: “man kâna âkhiru kalâmihi lâ ilâha illallôhu dakhola al Jannah”, barangsiapa yang ucapan terakhirnya lâ Ilâha illallôhu pasti masuk surge (HR Abu Dawud, dishahihkan Syaikh al Albani dalam Miyhkah al-Mashabiih, 1/509). Ungkapan hadis ini menggunakan fi’il madhi (kata kerja bentuk lampau). Mengapa? Bukankah kematian itu belum terjadi?

Dalam hadis maupun Al Quran, ungkapan yang menunjukkan kepastian, meskipun kejadian atau peristiwa belum terjadi, biasanya menggunakan kata kerja bentuk lampau. Tujuannya adalah memberi kepastian atau bayangan bahwa peristiwa itu sudah terjadi. Simak saja ungkapan Al Quran seperti “idzâ qoro’tum al qur’âna fasta’idz billâh”. Kata “qoro’tum” makna bahasanya adalah “telah membaca”, bukan akan dan sedang membaca. Itulah sebabnya, membaca “isti’âdzah” atau kalimat “a’ûdzu billâhi minasy syaithônir rojîm” dipentingkan saat seseorang hendak tilawah Al Quran (QS 16: 98).

Begitu pula dengan kalimat “idzâ qumtum ilâ ash sholât … faghsilû wujûhakum”. Bila hendak sholat … basuhlah wajahmu, QS 5: 6. Kata “qumtum” (artinya: kalian telah mendirikan) pun sebentuk dengan kata “qoro’tum” (kalian telah membaca). Dengan kata “qumtum”, kita diharuskan berwudhu lebih dulu, baru sholat. Bukan sholat dulu, baru berwudhu, seperti halnya kita diharuskan membaca “isti’âdzah” baru tilawah Al Quran, bukan sebaliknya.

Kembali ke masalah kalimat “dakhola al Jannah”.

Kalimat “dakhola al Jannah” menunjukkan kepastian bahwa orang yang ucapan terakhirnya, saat sakarotul maut adalah kalimat tauhid, yaitu “lâ ilâha illallôhu”, ia pasti menjadi bagian dari Ahlul Jannah. Masalahnya, sedemikian mudahkah mengucapkan kalimat “lâ ilâha illallôhu”, sementara hati orang yang sedang sakarotul maut itu hatinya masih menuhankan yang lain?

Inilah persoalan utamanya. Sulit sekali mempertahankan kalimat “lâ ilâha illallôhu” hingga akhir hayat. Sebab, selama hidup masih dikandung badan, manusia akan selalu dan pasti menghadapi banyak ujian. Dengan beragam bentuknya yang tak pernah kita duga sebelumnya. Itulah sebabnya, tidak sedikit ayat Al Quran yang mengajak setiap Muslim untuk bertakwa agar tidak mati, kecuali dalam keadaan Muslim.

Simak dua ayat berikut.

وَوَصَّى بِهَا إِبْرَاهِيمُ بَنِيهِ وَيَعْقُوبُ يَا بَنِيَّ إِنَّ اللَّهَ اصْطَفَى لَكُمُ الدِّينَ فَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ، البقرة: 132

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ، آل عمران: 102

Dua ayat di atas memuat dua kata yang menjadi peringatan bagi setiap Muslim: “lâ tamûtunna illâ wa antum muslimûna”. Janganlah kalian mati kecuali dalam keadaan Muslim. Melalui kalimat ini, setiap orang berpeluang mati tidak dalam keadaan Muslim. Entah menjadi bagian dari Musyrikin, Munafiqin, Zholimin, Fasiqin, bahkan Kafirin. Na’ûdzu billâhi min dzâlik.

Maka, agar setiap orang tidak mati, kecuali dalam keadaan Muslim, penangkalnya terdapat pada kalimat sebelumnya: mengikuti agama yang sudah dipilih oleh Allah, yaitu Islam, “innallôha ishthofâ lakum ad dîn”. Tidak hanya itu, bertakwa dengan ketakwaan yang sesungguhnya. Jadi, singkatnya, kematian yang husnul khotimah atau kematian berujung baik, karena dalam keadaan melakukan amal baik, atau tidak dalam keadaan berbuat syirik, atau kematian yang “thoyyibin” (ingat lagi tulisan sebelumnya, QS 16: 32) hanya dapat diraih melalui sikap dan tindakan takwa kepada Allah.

Lalu, apakah bertakwa itu?

Kata “taqwa” yang berasal dari “waqô-yaqî-wiqôyatan”, yang artinya menjaga, menutupi sesuatu dari bahaya, atau menghindari dan ‘menjauhi, yaitu menjaga sesuatu dari segala yang dapat menyakiti dan mencelakakan (Luwis Ma’luf, Munjid fi al-Lughah wa A’lām, 1986: 915). Kata takwa dengan pengertian ini digunakan dalam QS 40: 45. Penggunaan bentuk kata kerja “waqô” dapat dilihat, antara lain dalam QS 76: 11 dan 44: 56.

Mufassir lainnya berpendapat, kata “takwa” berasal dari kata “ittaqô-yattaqi” yang berarti ‘menjaga diri dari segala yang membahayakan atau membawa mudharat (kebinasaan). Sejumlah pakar bahasa berpendapat bahwa kata ini lebih tepat diterjemahkan dengan “berjaga-jaga atau melindungi diri dari sesuatu”.

Bila dikaitkan dengan Allah lahirlah kata “ittaqullôh”, maknanya melindungi diri dari azab-Nya dan hukuman-Nya. Menurut Sayyid Thanthawi, “taqwa” secara bahasa berarti “melindungi dan menjaga diri dari segala sesuatu yang membahayakan dan menyakiti”, yang dihindari dengan memenuhi perintah Allah dan menjauhi larangan-larangan yang menjerumuskannya ke dalam Neraka (Muhammad Sayyid Thanthawi, At-Tafsir Al-Washit, Juz I, 1997: 13; al-Raghib al-Asfahaniy, Mu‘jam Mufradat Alfaz Al-Qur ‘an, 1972: 568; Ibnu Kasir, Tafsir al-Qur’an al- ‘Azim, 1992: 55; Muhammad Ibnu Umar al-Zamakhsyari,. al-Kasysyaf ‘an Haqaiq al-Tanzil wa ‘Uyun al-Aqdwil Fi Wujuh al~Ta ‘wii, 1977: 120).

Penggunaan bentuk “ittaqô” terdapat di QS 7: 96. Adapun kata “taqwa” bersinonim dengan kata “khauf” dan “khosyyah” yang berarti ‘takut’. Kata “taqwa” ini juga mempunyai pengertian yang hampir sama dengan kata taat, seperti QS 24: 52. Orangnya lazim disebut “muttaqin”.

Secara terminologi syar’i (hukum), kata “taqwa” mengandung pengertian “menjaga diri dari segala perbuatan dosa dengan meninggalkan segala yang dilarang Allah dan melaksanakan segala yang diperintahkan-Nya”.

Menurut Imam al Baydhowi, “taqwa” itu komitmen untuk menjaga, merawat, atau memelihara, serta melindungi dan mencegah dirinya dari apa pun yang membahayakannya di dunia dan akhirat. Masih menurut Imam al Baydhowi, “taqwa” memiliki tiga tingkatan. 

Satu, melindungi diri dari azab yang kekal di akhirat, yakni dengan menghindari perbuatan syirik. Dua, melindungi diri dari segala perbuatan yang dapat mengotorinya hingga perbuatan-perbuatan yang kecil. Tiga, memisahkan keburukan dari kebenaran (Ibnu Muhammad al-Baydhowi, Anwaru At-Tanzil wa Asraru At-Ta’wil, 1997: 17-18).

Kata “taqwa” menurut Imam al Qurthubi artinya “sedikit berbicara”. Abu Yazid al Busthomi, “orang yang bertaqwa” (baca: muttaqin), adalah orang yang pembicaraannya dan perbuatannya sesuai dengan petunjuk Allah (Ibnu Farh Al-Qurthubi Abu Abdillah, Tafsir Al-Qurthubi Al-Jami’ Li Ahkam Al-Qur’an, 1964: 203).

Kata “taqwa” memuat sikap berhati-hati, yaitu sikap waspada seseorang dan selalu memperhatikan baik buruknya sesuatu. Di dalamnya ada unsur “furqan”, yaitu kemampuan membedakan antara baik dan buruk; benar dan batil. Umar ibn al Khattab ra., “taqwa” menggambarkan seseorang yang menghindari syirik dan lepas atau terbebas dari kemunafikan; mengibaratkan ketaqwaan dengan seseorang yang berjalan dijalan yang dipenuhi duri, lalu dia berjalan dengan cepat dan menghindari duri-duri tersebut.

Kualifikasi “taqwa” dalam Al Quran, hakikatnya, merupakan integralisasi iman, Islam dan ihsan. Iman merupakan gabungan dari kepercayaan, rasa takut (khauf) dan harap (ar-rajaa), sedangkan rasa takut menjadi substansi dari taqwa yang terbangun dari kokohnya tauhid. Di sisi lain, kebiasaan baik dan kepatuhan (al birru) merefleksikan keyakinan kepada Allah, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan hari akhir (Iman), ketundukannya untuk menjalankan ibadah (Islam) dan kerelaannya untuk senantiasa berbuat kebajikan (Ihsan).

Hasil dari perpaduan iman, Islam, dan ihsan membuahkan manfaat berupa: mendapatkan sikap furqan, yaitu sikap tegas membedakan antara yang hak dan batil, benar dan salah, halal dan haram, serta terpuji dan tercela, QS 8: 29; mendapatkan limpahan berkah dari langit dan bumi (QS 7: 96); mendapatkan jalan keluar dari kesulitan (QS 65: 2); mendapatkan rezeki tak terduga (QS 65: 3); selalu ada kemudahan dalam berbagai urusan (QS 65: 4; 92: 7-9); dan menerima penghapusan dan pengampunan dosa serta mendapatkan pahala yang besar (QS 8: 29; 65: 5)...

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Promo Perumahan Eksklusif Taman Firdaus

Keutamaan membaca shalawat

Ucapan Terima Kasih dan Serba Serbi Idul Kurban