Mati Zholimin atau Thoyyibin (1)
Oleh: Ust. Usin S. Artyasa
(Pengisi ta"lim di Masjid Almuhajirin, Antapani Kidul setiap Kamis Subuh)
Dalam Al Quran, ada dua ayat yang menerangkan dua bentuk kematian yang berbeda. Ayat yang satu menggambarkan kematian yang menzhalimi diri sendiri (zholimi anfusihim). Ayat yang satu lagi menggambarkan kematian yang baik (thoyyibin).
الَّذِينَ تَتَوَفَّاهُمُ الْمَلَائِكَةُ ظَالِمِي أَنْفُسِهِمْ فَأَلْقَوُا السَّلَمَ مَا كُنَّا نَعْمَلُ مِنْ سُوءٍ بَلَى إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ
Yaitu, orang-orang yang dimatikan oleh para malaikat dalam keadaan berbuat zhalim kepada diri sendiri, lalu mereka menyerah diri (sambil berkata); "Kami sekali-kali tidak mengerjakan sesuatu kejahatan pun". Malaikat menjawab: "Sungguh, Allah Maha Mengetahui apa yang telah kamu kerjakan", QS 16: 28.
Menurut Ibnu ad Dimasqi (Jilid 12: 48), kalimat “al ladzîna al malâ’ikatu …” berfungsi sebagai “al maushûl majrûr aw baddalan aw bayânan”, sebagai penyambung penbicaraan untuk memperjelas keterangan tentang orang-orang yang diazab dalam kehinaan. Menurut al Alûsi, kata “al-ladzîna” itu menerangkan ayat sebelumnya, yaitu al-kâfirîn. Mereka inilah yang dimatikan oleh malaikat dalam keadaan zhalim, sû’ul khôtimah. Kalimat “fa alqowus salâm” berfungsi sebagai “al mazîdah fi al khobâr”, penambah keterangan atas kehinaan dan ketidak-berdayaan mereka di hadapan Allah (Ibnu Athiyah, 12: 48).
وَقِيلَ لِلَّذِينَ اتَّقَوْا مَاذَا أَنْزَلَ رَبُّكُمْ قَالُوا خَيْرًا لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا فِي هَذِهِ الدُّنْيَا حَسَنَةٌ وَلَدَارُ الْآَخِرَةِ خَيْرٌ وَلَنِعْمَ دَارُ الْمُتَّقِينَ
Dan, dikatakan kepada orang-orang yang bertakwa: "Apakah yang telah diturunkan oleh Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Kebaikan". Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini mendapat balasan yang baik. Dan, sungguh, kampung akhirat itu lebih baik, dan itulah sebaik-baik tempat bagi orang yang bertakwa, QS 16: 30.
Menurut Imam al Qôdhi (dalam Lubab fi ‘Ulum al Quran, 12: 52), makna kata “al ladzîna at taqow” adalah “al ladzîna jamî’un al muharromât wa fâ’ilun jamî’un al wâjibât”, orang yang menjauhi semua yang haram, dan melaksanakan semua yang diwajibkan. Kata “al ladzîna at taqow” juga digambarkan sebagai orang-orang yang sempurna imannya, dan terus menerus menghiasi diri dengan bertumpuk kebaikan (Tafsir al Mishbah, 7: 219).
Kata “khoyron”, dari segi bahasa, berkedudukan sebagai objek. Kata “khoyron” menunjuk pada jawaban orang-orang yang bertakwa saat mereka ditanya tentang apa yang telah diturunkan Allah kepada mereka. Hal ini berbeda dengan jawaban kaum kafir, yaitu “asâthîr al awwalîn” (lihat QS 16: 24). Artinya, kaum bertakwa merasa sangat yakin bahwa yang Allah turunkan dalam Al Quran seluruhnya berupa kebaikan dan kebenaran.
Menurut Zayd ibn Ali (dalam Bahrul Muhith, 5: 373; Durul Mantsur, 4: 334), kata “khoyron” maknanya sama dengan “al ahsanu”, yang berfungsi sebagai jawaban atas pertanyaan Allah tentang hakikat isi yang diturunkan Allah kepada Rasulullah Saw. Menurut Umar ibn Adl ad Dimasqi, ungkapan “al ladzî fî hâdzîhi ad dunyâ hasanah”memiliki dua makna. Satu, sebagai “ikhbar” atau informasi. Dua, sebagai jaminan bagi kaum Muttaqin bahwa mereka sangat layak untuk mendapatkan berbagai kebaikan. Menurut Zamakhsyari (dalam Lubab fi ‘Ulum al Quran, 12: 5), makna kedua lebih tepat daripada makna pertama.
Kita semua tentu ingin mengakhiri hidup dalam keadaan beriman kepada Allah. Lebih-lebih dengan mengucapkan kalimat tauhid, “lâ ilâha illallôh”. Sebab, ada banyak hadis yang menerangkan tentang jaminan masuk Jannah kepada siapa pun yang kalimat akhirnya menjelang mati adalah “lâ ilâha illallôh”.
Dari Utsman ibn ‘Affan ra., Rasulullah Saw. bersadba:
مَنْ مَاتَ وَهُوَ يَعْلَمُ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ دَخَلَ الْجَنَّةَ
“Siapa meninggal dunia sementara dia mengetahu bahwa tiada tuhan yang berhak diibadahi kecuali Allah pasti masuk surga.” (HR. Muslim)
Abu Dzar ra. juga menukil bahwa Rasulullah Saw. bersabda:
مَا مِنْ عَبْدٍ قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ ثُم مَاتَ عَلَى ذَلِكَ إِلَّا دَخَلَ الْجَنة
“Tidaklah seorang hamba mengucapkan Laa Illa Illallah kemudian ia meninggal dunia di atas ucapan itu kecuali pasti masuk surga.” (HR. Al-Bukhari).
Mu’adz bin Jabal ra. pun berkata bahwa Rasulullah Saw. bersabda:
مَنْ كَانَ آخِرُ كَلَامِهِ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ دَخَلَ الْجَنَّةَ
“Barangsiapa yang ucapan terakhirnya Laa Ilaaha Illallaah pasti masuk surga.” (HR. Abu Dawud, dishahihkan Syaikh Al-Albani dalam Miyhkah al-Mashabiih: 1/509)
Bersambung ….
Dalam Al Quran, ada dua ayat yang menerangkan dua bentuk kematian yang berbeda. Ayat yang satu menggambarkan kematian yang menzhalimi diri sendiri (zholimi anfusihim). Ayat yang satu lagi menggambarkan kematian yang baik (thoyyibin).
الَّذِينَ تَتَوَفَّاهُمُ الْمَلَائِكَةُ ظَالِمِي أَنْفُسِهِمْ فَأَلْقَوُا السَّلَمَ مَا كُنَّا نَعْمَلُ مِنْ سُوءٍ بَلَى إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ
Yaitu, orang-orang yang dimatikan oleh para malaikat dalam keadaan berbuat zhalim kepada diri sendiri, lalu mereka menyerah diri (sambil berkata); "Kami sekali-kali tidak mengerjakan sesuatu kejahatan pun". Malaikat menjawab: "Sungguh, Allah Maha Mengetahui apa yang telah kamu kerjakan", QS 16: 28.
Menurut Ibnu ad Dimasqi (Jilid 12: 48), kalimat “al ladzîna al malâ’ikatu …” berfungsi sebagai “al maushûl majrûr aw baddalan aw bayânan”, sebagai penyambung penbicaraan untuk memperjelas keterangan tentang orang-orang yang diazab dalam kehinaan. Menurut al Alûsi, kata “al-ladzîna” itu menerangkan ayat sebelumnya, yaitu al-kâfirîn. Mereka inilah yang dimatikan oleh malaikat dalam keadaan zhalim, sû’ul khôtimah. Kalimat “fa alqowus salâm” berfungsi sebagai “al mazîdah fi al khobâr”, penambah keterangan atas kehinaan dan ketidak-berdayaan mereka di hadapan Allah (Ibnu Athiyah, 12: 48).
وَقِيلَ لِلَّذِينَ اتَّقَوْا مَاذَا أَنْزَلَ رَبُّكُمْ قَالُوا خَيْرًا لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا فِي هَذِهِ الدُّنْيَا حَسَنَةٌ وَلَدَارُ الْآَخِرَةِ خَيْرٌ وَلَنِعْمَ دَارُ الْمُتَّقِينَ
Dan, dikatakan kepada orang-orang yang bertakwa: "Apakah yang telah diturunkan oleh Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Kebaikan". Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini mendapat balasan yang baik. Dan, sungguh, kampung akhirat itu lebih baik, dan itulah sebaik-baik tempat bagi orang yang bertakwa, QS 16: 30.
Menurut Imam al Qôdhi (dalam Lubab fi ‘Ulum al Quran, 12: 52), makna kata “al ladzîna at taqow” adalah “al ladzîna jamî’un al muharromât wa fâ’ilun jamî’un al wâjibât”, orang yang menjauhi semua yang haram, dan melaksanakan semua yang diwajibkan. Kata “al ladzîna at taqow” juga digambarkan sebagai orang-orang yang sempurna imannya, dan terus menerus menghiasi diri dengan bertumpuk kebaikan (Tafsir al Mishbah, 7: 219).
Kata “khoyron”, dari segi bahasa, berkedudukan sebagai objek. Kata “khoyron” menunjuk pada jawaban orang-orang yang bertakwa saat mereka ditanya tentang apa yang telah diturunkan Allah kepada mereka. Hal ini berbeda dengan jawaban kaum kafir, yaitu “asâthîr al awwalîn” (lihat QS 16: 24). Artinya, kaum bertakwa merasa sangat yakin bahwa yang Allah turunkan dalam Al Quran seluruhnya berupa kebaikan dan kebenaran.
Menurut Zayd ibn Ali (dalam Bahrul Muhith, 5: 373; Durul Mantsur, 4: 334), kata “khoyron” maknanya sama dengan “al ahsanu”, yang berfungsi sebagai jawaban atas pertanyaan Allah tentang hakikat isi yang diturunkan Allah kepada Rasulullah Saw. Menurut Umar ibn Adl ad Dimasqi, ungkapan “al ladzî fî hâdzîhi ad dunyâ hasanah”memiliki dua makna. Satu, sebagai “ikhbar” atau informasi. Dua, sebagai jaminan bagi kaum Muttaqin bahwa mereka sangat layak untuk mendapatkan berbagai kebaikan. Menurut Zamakhsyari (dalam Lubab fi ‘Ulum al Quran, 12: 5), makna kedua lebih tepat daripada makna pertama.
Kita semua tentu ingin mengakhiri hidup dalam keadaan beriman kepada Allah. Lebih-lebih dengan mengucapkan kalimat tauhid, “lâ ilâha illallôh”. Sebab, ada banyak hadis yang menerangkan tentang jaminan masuk Jannah kepada siapa pun yang kalimat akhirnya menjelang mati adalah “lâ ilâha illallôh”.
Dari Utsman ibn ‘Affan ra., Rasulullah Saw. bersadba:
مَنْ مَاتَ وَهُوَ يَعْلَمُ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ دَخَلَ الْجَنَّةَ
“Siapa meninggal dunia sementara dia mengetahu bahwa tiada tuhan yang berhak diibadahi kecuali Allah pasti masuk surga.” (HR. Muslim)
Abu Dzar ra. juga menukil bahwa Rasulullah Saw. bersabda:
مَا مِنْ عَبْدٍ قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ ثُم مَاتَ عَلَى ذَلِكَ إِلَّا دَخَلَ الْجَنة
“Tidaklah seorang hamba mengucapkan Laa Illa Illallah kemudian ia meninggal dunia di atas ucapan itu kecuali pasti masuk surga.” (HR. Al-Bukhari).
Mu’adz bin Jabal ra. pun berkata bahwa Rasulullah Saw. bersabda:
مَنْ كَانَ آخِرُ كَلَامِهِ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ دَخَلَ الْجَنَّةَ
“Barangsiapa yang ucapan terakhirnya Laa Ilaaha Illallaah pasti masuk surga.” (HR. Abu Dawud, dishahihkan Syaikh Al-Albani dalam Miyhkah al-Mashabiih: 1/509)
Bersambung ….
Komentar
Posting Komentar